Senin, 21 November 2011

MANAKIB ULAMA-ULAMA JAKARTA

GURU MARZUKI BIN MIRSHAD

PDFPrintE-mail
betawiK.H. AHMAD MARZUKI AL-BETAWI
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)

Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.

Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu


Pada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.

Guru-guru di Haramain


Selama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani (w. 1329 H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H), Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.), Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi (w. 1338 H.), Syekh Sa’id al-Yamani (w. 1352 H), Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.), Syekh Muhammad Ali al-Maliki (w. 1367 H.) dan lain-lain.

Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak (astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah.

Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University (hal. 63 – 66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.

Sistem Mengajar dan Para Muridnya

Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).

Cara mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.

Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin), KH. Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH. Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH. Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender), dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).

Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi

Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .

Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi selanjutnya.

Wafatnya

Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .

Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.

Al Marhum Al Maghfurlah KH. Hasbiyallah (Pendiri Lembaga Pendidikan Islam Al-Wathoniyah, Klender)

Dalam perburuan ilmunya di Makkah K.H. Hasbiyallah, yang diperkirakan lahir pada tahun 1913, berguru kepada tokoh-tokoh ulama-ulama besar besar Indonesia seangkatannya. Diantara guru-gurunya itu adalah Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki, Syaikh Muhammad Habibullah As-Sanqiti, Syaikh Muhammad Amin Kutbi, Syaikh Hasan Al-Masysyath, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh ‘Ali Al-Yamani, Syaikh Zakariya Bila, Syaikh Ahmad Fathoni, Syaikh Umar At-Turki.
Sedangkan guru-gurunya di tanah air adalah K.H. Anwar, yang termasyhur dengan sebutan Mua’allim H. Gayar (ayahandanya sendiri), Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara, Guru Muhammad Thohir Cipinang Muara (menantu Guru Marzuki), K.H. Kholid Gondangdia, K.H. Abdul Majid Pekojan, Guru Babah, K.H. Abbas (Buntet, Cirebon), Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, dan Habib Ali Al-Attas Bungur.
Sejek kecil K.H. Hasbiyallah dididik oleh ayahandanya sendiri, Muallim H. Gayar, yang selain seorang pedagang juga ulama terkemuka. Mulai dari membaca Al-qur’an sampai ilmu-ilmu lain, diantaranya memperdalam ilmu tauhid, fiqih, tafsir, hadist, nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, dan sebagainya.
Namun karena kesibukan ayahnya sebagai pedagang, Hasbiyallah kecil dititipkan kepada teman karibnya, seorang ulama besar, Guru Marzuki bin Mirshod. Guru Gayar berkata kepada temannya itu dihadapan temannya yang lain, Guru Said, “Gua ama Said banyakan ngurusin dagang, ngajarnya kagak kaya elu. Elu aja yang jadi ulama. Kalo kita jadi ulama bertiga, entar kita pada berebutan berkat.”
Sebenarnya, ketiga guru itu terkenal dengan kealimannya masing-masing. Itu terlihat dari jumlah santri mereka pada zaman berikutnya menjadi ulama-ulama besar.
Mualim H. Gayar dan Guru Marzuki bin Mirshod belajar kepada Sayyid Ustman Banahsan (Habib Ustman Muda) dan Habib Ustman bin Abdillah bin ‘Aqil Bin Yahya Al-Alawi, yang termashur sebagai mufti Betawi dan memilki banyak karya dan sebagiannya selama puluhan tahun (bahkan lebih dari seratus tahun) hingga sekarang menjadi pegangan para penganut ilmu dan ulama.
Selama belajar dengan Guru Marzuki, Hasbiyallah muda banyak mendapat kesempatan bergaul dengan santri-santri lainnya dari Jakarta dan sekitarnya yang kemudian menjadi tokoh ulama yang disegani. Di antaranya, K.H. Mukhtar Tahbrani (Pendiri Ponpes An-Nur, Kaliabang Nangka, Bekasi), K.H. Noer Ali (Pendiri Ponpes At-Taqwa, Ujung Harapan, Bekasi), K.H. Mughni (mertua K.H. Noe Ali), K.H. Abdullah Syafi’I (pendiri Perguruan Asy-Syafi’iyah, Bali Matraman), K.H. Syarkaman Lenteng Agung, K.H. Rohaimin Gabus Pabrik, K.H. Abdul Hadi (pendiri Ponpes Cipinang Kebembem), K.H. Abu Bakar (Tambun), K.H. Abdul Hamid (Bekasi), K.H. A. Zayadi Muhajir (pendiri Ponpes Az-Ziyadah, Klender), K.H. Ahmad (Pangkalan Jati), K.H. Mukhtar (Pondok Bambu), K.H. Abdur Rohman Shodri (Bekasi), K.H. A. Mursyidi (Klender), K.H. Muhammad Nur Bungur Seroja, K.H. Jurjani Bungur, K.H. Thohir Rohili (pendiri Ponpes Athtahiriyah), K.H. Mualim Sodri Pisangan, Guru Abdurrahman Pulo Kambing.
Pada tahun 1934, ketika Hasbiyallah sedang giat-giatnya memperdalam ilmu agama. Allah memanggil sang guru ke haribaan-Nya. Namun semangat belajarnya tak pernah padam, hingga ia melanjutkan pelajatannya ke Pondok Pesantren Buntet Cirebon, yang diasuh seorang kyai besar kharismatik, K.H. Abbas Buntet.
K.H. Hasbiyallah, ulama yang dikenal luas akan kedalaman ilmunya, yang juga pendiri Lembaga Pendidikan Islam Al-Wathoniyah, Klender, wafat pada tahun 1982.

Al Marhum Al Maghfurlah KH. Muhammad Mansyur (Guru Mansyur)

KH. Muhammad Mansyur Al-Batawi merupakan tokoh yang dipandang sebagai guru sejati oleh masyarakat Betawi. Ia sezaman dengan Guru Mughni dari Kuningan. Kedua tokoh inilah yang dikatakan oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” serta merupakan generasi Guru Mujtaba dari kampung Mesteer. Guru Mansyur (1878-1967), merupakan seorang ilmuwan Betawi di zaman penjajahan Belanda. Guru Mansyur memperdalam ilmu agamanya di Mekah selama empat tahun. Kemudian mengajar di Jamiatul Khair dan disinilah beliau berkenalan lebih dekat dengan tokoh-tokoh Islam. Beliau orang yang berhasil menggagalkan pembongkaran masjid Cikini di JI. Raden Saleh tahun 1925. Beliau meninggal hari Jum’at 12 Mei 1967 dan dimakamkan di halaman masjid Al Mansyuriah Kampung Sawah, Jembatan Lima. Tercatat ada 19 karya yang telah dihasilkannya diantaranya: Kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf, Tajkirotun nafi’ah fisihati’amalissaun wal fitr, Jadwal faraid serta Al lu’lu ulmankhum fi khulasoh mabahist sittah ulum. (Ensiklopedi Jakarta)
Guru Mansyur dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta tahun 1295 Hijriah/ 1878 Masehi. Beliau wafat pada tahun 1967 Masehi. Ayahnya bernama Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman Haji Hamid ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah agama kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik langsung oleh ayahnya.
Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur belajar dari kakak kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji Tabrani. Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16 tahun dan belajar di sana selama empat tahun. Selama di
Mekah ia berguru kepada sejumlah ulama, antara lain:
* Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori
* Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
* Syekh Ali Al Maliki
* Syekh Said Al Yamani
* Syekh Umar Sumbawa, dll.
Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah Jam’iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi penasehat syar’i dalam organisasi Ijtimak-UI Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim.
Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak (astronomi islam) antara lain:
* Sullamun Nayyiroin
* Khulasatul Jawadil
* Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
* Mizanul I’tidal
* Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
* Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
* Rub’ul Mujayyab
* Mukhtashor Ijtima’un Nayyiroin
Ilmu Falak & Perlawanan terhadap Penjajah
Guru Mansyur mendalami ilmu falak karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan hari lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, maka pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita itu kepada mesjid terdekat. Mesjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Kanak-kanak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda.
Lebaran Tong lebaran
Iraha Tong iraha
Isukan Tong isukan
Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui bedug. Akibatnya lebaran dirayakan dalam waktu yang berbeda.
Guru Mansyur memahami permasalahan ini. Karena itu Guru Mansyur mendalami ilmu falak. Setiap
menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab lebaran akan jatuh dua hari lagi, umpamanya.
Dalam adat Betawi Guru orang yang sangat alim, ilmunya tinggi, menguasai kitab-kitab agama, dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas Guru dato’. Dato’ lebih dari Guru, dan Dato’ menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah Guru mu’alim. Mu’alim ilmunya masih di bawah Guru. Di bawah Mualim ustadz. Ustadz pengajar pemula agama. Di bawah Ustadz guru ngaji. Guru ngaji mengajar mengenal huruf Arab.
Guru Mansyur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansyur memerintahkan agar di menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansyur menolak. Tentara Belanda menembaki menara mesjid. Guru Mansyur tidak berubah pendirian.
Melihat kekerasan hati Guru Mansyur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan” Guru Mansyur pemberani, namun hatinya mulia.
Guru Mansyur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenasahnya dimakamkan di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya: “Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat”.